Sabtu, 23 Oktober 2010

Semua Demi EMAK

0 komentar
Fajar baru merayapi pagi, saat Fatma membuka pintu rumahnya. Udara pagi yang sejuk langsung menerpa wajahnya yang oval dan dibingkai jilbab putih kusam. Dingin. Itu yang ia rasakan, ia langsung memelukkan tangan ke tubuhnya, untuk sekadar mengurangi rasa dingin yang menggigit pori-porinya.
“Ah, masih terlalu pagi...” gumamnya.
Sebenarnya ia malas untuk pergi menyadap karet sepagi ini, matanya pun juga masih terasa mengantuk. Walaupun ini bukan hari pertama ia bekerja sebagai seorang penyadap karet dan sudah terbiasa dengan semuanya, tapi tetap saja perasaan malas bercokol di hatinya. Tapi apa hendak dikata, inilah risiko pekerjaannya, turun pagi-pagi dari rumah untuk mendapatkan getah karet yang banyak, karena di waktu pagi getah yang masih ada di dalam pohon masih encer, sehingga mudah keluar dan mengalir, kalau sampai kesiangan, jangan harap dapat memperoleh getah karet yang banyak, apalagi kalau pohon karetnya bukan bibit unggul.
Sekali lagi ia menoleh ke jam dinding tua yang menempel di sudut rumahnya, jam empat pagi. Fatma menarik dalam nafasnya, ia masih enggan untuk melangkah dari bibir pintu.
“Kalau kamu masih berdiri di situ, bisa-bisa kau akan dipecat sama Juragan Daung...”
Suara Emaknya yang baru keluar dari bilik kamar yang hanya disekat dengan triplek membuat Fatma menoleh ke arah suara. Ia memang bekerja untuk Juragan Daung, orang paling kaya di kampungnya. Ia punya banyak sawah dan kebun karet, sehingga banyak warga kampungnya yang mengemis-emis pekerjaan pada Juragan Daung. Dan keluarga Fatma cukup beruntung, karena Juragan Daung sendiri yang menawarkan Fatma untuk menyadap salah satu kebun karet miliknya.
“Eh, Emak...” sapanya sedikit kaku. Ia tak tahu kenapa pagi ini ia merasa sangat malas. Ada perasaan bosan yang mulai merajai pikirannya, sudah hampir dua tahun ia bekerja sebagai seorang penyadap karet sejak ia berhasil memperoleh ijasah SMP-nya, namun kehidupannya tak berubah sedikitm pun, uang upah kerjanya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Karena Fatma tak bisa meminta lebih pada Juragan Daung, ia tak berani menuntut kalau tak ingin dipecat, walau ia tahu upah yang ia terima tak sebanding dengan keringat yang ia keluarkan.
Dengan tenaga tuanya yang ringkih, susah payah Emak menghampiri Fatma yang masih berdiri diambang pintu.
“Kalau kau bosan dengan pekerjaan ini, lalu kita mau makan apa?” tajam kata Emak membuat Fatma kembali menatap perempuan tua yang kini ada di sampingnya, menjajarinya berdiri dibibir pintu. Emak seakan bisa menebak apa yang dirasakan Fatma saat ini.
Emak benar! Tanpa pekerjaan ini mungkin keluarganya tak akan bisa bertahan hidup sampai saat ini, mereka tak punya sawah untuk bisa digarap, apalagi kebun karet seperti punya Juragan Daung. Di kampungnya ini hanya ada tiga pekerjaan utama, bertani, berkebun, dan berdagang. Fatma pernah berpikir untuk berdagang, tapi itu perlu modal, dan itu yang tidak ia punya.
“Maafin Fatma, Mak. Fatma akan segera berangkat....” ia lebih memilih segera berangkat dari pada ia mendengar keluh emaknya. Fatma sudah hafal setiap kali ia merasa bosan atau malas dengan pekerjaannya, maka Emaknya akan mengungkit masa lalunya yang sedih, ketika untuk selamanya ditinggalkan suaminya, ketika harus berjuang seorang diri untuk membesarkan Fatma dengan cucuran keringat. Oh, itu tentu saja membuat hati Fatma semakin perih mendengarnya. Betapa besar pengorbanan Emak untuknya. Dan biarlah kali ini ia yang bekerja membanting tulang untuk emaknya, walaupun ia tahu, sampai kapanpun tak akan pernah bisa membayar jasa-jasa emaknya. Tapi paling tidak ia bisa menghidupi emaknya.
Fatma langsung meraih ember lusuh hitam dan sebilah pahat di teras rumahnya, yang sudah ia persiapkan semenjak sore. Baru beberapa langkah ia meninggalkan halaman rumahnya, azan subuh berkumandang.
***
“Cuma segini hasil kerjamu hari ini...?!” bentak Juragan Daung berang sambil mengacung-acungkan uang yang dipegangnya. Ia baru saja menerimanya dari salah satu penyadap karet yang menyetorkan hasil penjualannya.
“Ii-iya, Juragan...” jawab orang itu gemetar bercampur gugup dan takut. Setidaknya itu yang kini ditangkap retina Fatma, ia dapat melihat wajah lelaki dihadapannya memucat, karena ia persis berdiri di samping lelaki malang itu, sehabis dia, baru giliran Fatma menyetorkan hasil penjualan karetnya hari ini.
“Jangan-jangan uangnya kamu tilap ya...Hah!?” tuduh Juragan Daung lagi semakin meradang. Lelaki di hadapannya semakin gemetar.
“Ti-tidak, Juragan, saya tak berani. Tadi pagi anak saya sakit, jadi saya terlambat pergi menyadap, Juragan...”
“Ah, alasan!” Juragan Daung tak percaya begitu saja. Sekilas matanya melirik ke arah Fatma yang berdiri di samping lelaki itu.
“Baiklah kali ini aku percaya....” lanjut Juragan Daung melunak, “tapi hari ini, kau tak akan mendapatkan upahmu. Semua ku ambil sebagai ganti uang setoranmu yang kurang...”
“Tapi, Juragan...”
“Tak ada tapi-tapi. Atau kau mau dipecat sekalian?”
Kata-kata terakhir Juragan Daung, membuat lelaki itu tak berdaya dan menerima begitu saja sikap Juragan Daung. Ia tak ingin kehilangan pekerjaan itu. Ia berlalu dari hadapan Juragan Daung dengan langkah guntai, karena hari ini ia tak dapat apa-apa, padahal di rumahnya anaknya sedang sakit, dan perlu uang untuk membeli obat.
Sungguh keterlaluan! gumam Fatma dalam hati.
Kini tiba gilirannya. Hatinya berdegup lebih kencang, tangannya sibuk memilin ujung jilbabnya. Ia yakin pasti juga akan terkena marah seperti lelaki tadi, pasalnya uang hasil penjualan getah karetnya juga kurang dari biasanya. Tadi pagi ia juga terlambat berangkat, karena harus shalat subuh dulu, biasanya ia berangkat sebelum shalat subuh, dan shalat di sebuah dangau di kebun karet.
“Mana uang setoranmu?” berhadapan dengan Fatma suara Juragan Daung terdengar datar bahkan agak lembut, tak seperti tadi.
“Ini, Juragan...” Fatma menyerahkan uang di tangannya.
Kening Juragan Daung berkerut setelah menghitung uang setoran Fatma, sedangkan Fatma sudah siap dimarahi dengan kata-kata kasar Juragan Daung.
“Ini uang hasil kerjamu...” Bukannya marah, Juragan Daung malah menyodorkan beberapa lembar uang kertas kepada Fatma sebagai upah kerjanya. Kini giliran Fatma yang mengeryitkan dahi. Tanpa berkata apa-apa lagi, Fatma langsung bangkit dan pergi tanpa mengambil upah kerjanya.
***
Belum lagi terjawab atas keanehan Juragan Daung yang tiba-tiba menjadi baiknya padanya, sesampainya di rumah Fatma langsung disambut emaknya dengan raut gelisah bercampur cemas, entah apa yang dipikirkan Emak.
Fatma menurut saja saat emaknya mengajaknya berbicara di dalam kamar. Penting! Cuma itu yang baru diucapkan Emak untuk menegaskan pembicaraan ini harus segera dilakukan.
Sudah lima menit lebih mereka berdua didalam kamar, duduk di bibir ranjang besi yang sudah mulai karatan dan berderit-derit bunyinya. Emak belum juga mengucapkan sepatah kata, yang sebelumnya dikatakan sangat penting.
Fatma jadi bingung, apa sebenarnya yang ingin dibicarakan Emak? Fatma bertanya-tanya sendiri dalam hatinya. Ia tatap wajah Emak yang sudah dipenuhi keriput itu dengan seribu tanda tanya. Emak sepertinya ragu untuk menyampaikannya atau tak tahu harus mulai dari mana?
“Emak ingin bicara apa sama Fatma?” akhirnya Fatma yang memulai membuka suaranya. Ia sudah tak bisa menahan rasa penasarannya, mungkin dengan Fatma yang dulu berbicara, emaknya akan tahu mulai dari mana.
“Begini, Fatma...” Emak menatap wajah anaknya dengan tatapan yang lain dari biasanya, dari wajahnya dapat tergambar jelas sebuah pengharapan “ Emak harap, kamu jangan terkejut mendengarnya....”
Terkejut! Apakah nanti apa yang akan disampaikan Emak merupakan sebuah kejutan untukku? Fatma semakin penasaran.
“Dan juga Emak harap, kamu jangan marah sama Emak,” parau suara Emak seraya kembali menatap wajah bidadarinya.
“Sudahlah, Mak. Emak jangan bikin Fatma semakin penasaran. Apa yang ingin Emak sampaikan?" Desak Fatma menggenggam jemari tua Emak.
Emak menarik nafas dalam, sebelum berkata lagi. Emak mencoba meyakinkan diri, “Tadi Juragan Daung ke sini, saat kamu masih di....”
“Untuk apa dia kesini? Apa mau memecat Fatma? Kebetulan, mulai besok juga Fatma tak akan bekerja lagi pada Juragan Daung!” potong Fatma cepat, nada suaranya terdengar ketus, ia tak suka mendengar nama Juragan Daung disebut di hadapannya.
“Juragan Daung ke sini bukan mau memecat kamu, tapi....” Emak menggantung ucapannya, Emak kembali ragu menyampaikannya.
Rasa penasaran yang sudah diubun-ubun, membuat Fatma mendesak Emak “Tapi apa, Mak....?”
“Juragan Daung, meminta kamu jadi isterinya...” akhirnya kata itu meluncur juga dari mulut Emak. Fatma membelalakkan matanya.
“Apa? Bandot tua itu meminta Fatma jadi isterinya?” Fatma yakin pendengaran masih bagus, tapi apa yang disampaikan Emak membuat ia harus kembali meyakinkannya.
Emak mengangguk sebagai jawaban. Fatma langsung membuang muka, membayangkan wajahnya saja ia tak sudi, apalagi jadi istrinya, entah istri yang keberapa.
Fatma seperti teringat sesuatu, dan kembali menatap wajah emaknya.
“Tapi Emak tidak menerimanya kan....?” ucap Fatma memegangi kedua pundak emaknya, mencari sebuah jawaban di wajah tua Emak. Emak tertunduk mendapat pertanyaan itu, wajahnya terlihat sedih. Tiba-tiba di sudut matanya mengalir air mata, kemudian turun meliuk-liuk di wajah keriputnya.
Airmata itu bagi Fatma sudah cukup sebagai jawaban Emak. Kini tidak hanya Emak yang menangis, tanpa terasa pipi Fatma pun juga sudah basah. Ia terkulai lemas bersandar di sudut ranjang.
“Kenapa Emak menerimanya?” sesal Fatma disela isak tangisnya. Menikah dengan Juragan Daung sama saja menyerahkan diri ke kandang serigala.
“Maafkan Emak, Fatma. Emak tahu kamu pasti kecewa dengan Emak. Tapi ini semua Emak lakukan demi keluarga kita...” jawab Emak terbata-bata.
“Keluarga?” sambung Fatma bernada meremehkan, “maksud Emak, dengan menikahkah Fatma dengan Juragan Daung, keluarga kita akan berubah. Dia akan memberikan uang setiap hari kepada kita. Kalau itu maksud Emak, Emak sama saja menjual Fatma sama Bandot tua itu....”
“Tidak, Fatma...” Emak berhenti sesaat “Emak akan menceritakan sesuatu yang belum kamu ketahui...” lanjut Emak, membuat perhatian Fatma kembali tertuju pada perempuan tua itu,  mata Emak menerawang pada dinding lapuk rumahnya.
Emak memulai ceritanya. Saat suaminya masih hidup, kehidupan mereka sangat susah, ditambah dengan lahirnya seorang putri yaitu Fatma, sedangkan hidup perlu biaya. Tak ada cara lain saat itu, selain meminta pinjaman pada Juragan Daung yang saat itu masih muda, dengan jaminan tanah dan rumah mereka. Uang itu bukannya membawa berkah untuk kehidupan mereka, tapi malah membuat suaminya celaka, uang itu dirampok dalam perjalanan pulang ke rumahnya, dan suaminya terbunuh karena mencoba mempertahankannya.
Tanggal jatuh tempo pun tiba, Emak tak tahu harus membayar uang itu dengan apa, Juragan Daung mau mengambil rumah dan tanahnya. Tapi Emak mengiba-iba agar dikasihani. Saat itulah Juragan Daung melihat Fatma kecil, ia dapat melihat bahwa anak itu akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Di situlah kelicikan Juragan Daung muncul. Ia tak akan mengambil tanah dan rumahnya. Dengan syarat setelah Fatma besar, Fatma akan menjadi istrinya.
“Begitulah ceritanya, anakku....” Emak mengakhiri ceritanya dengan berurai airmata. Begitu juga dengan Fatma, tangisnya semakin deras, ia baru tahu kalau abahnya mati terbunuh.
“Semuanya terserah padamu. Kalau kamu tak menerimanya, emak tidak tahu kita akan tinggal di mana, karena Juragan Daung pasti mengambil rumah ini...” kata-kata Emak seolah-olah menyiratkan Fatma, bahwa tak ada pilihan lain kecuali kalau mau terusir dari kampung ini.
Fatma bingung harus menjawab apa. Di sisi lain ia tak sudi menyerahkan kegadisannya pada Juragan Daung, namun ia juga tak tega melihat Emak terusir dari rumahnya sendiri. Emak sudah tua, dan sudah banyak berkorban untuknya. Dan mungkin dengan menerima lamaran Juragan Daung, akan membuat hidup Emak  lebih tenang.
Akhirnya ia putuskan untuk menerimanya. Biarlah hatinya hancur lebur saat nanti bersanding dengan Juragan Daung, asal Emak bisa hidup tenang. Kini gilirannya yang berkorban.
Semua demi Emak...bisik hatinya menangis.

Barabai, 05 Oktober 2010

Penulis : Muhammad saleh
Cerpen by. Annida

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklan Gratis

Powered byEMF Forms Online
Report Abuse
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...